Mengapa pihak hukum Polresta Bitung dan Polda Sulut Gagal Menjadi Penjaga Hukum?
Dari Sejak laporan pertama diajukan ke Polresta Bitung, proses hukum berjalan seperti roda yang diputar di tempat. Alih-alih mengejar korporasi tambang yang diduga melakukan penyerobotan, penyidik justru sibuk membangun narasi pengalihan. Mereka menyasar Devie Ondang, pemegang SHM yang diterbitkan saat usianya masih 13 tahun—sebuah keputusan administratif yang tidak masuk akal. Padahal, SHM tersebut dikeluarkan berdasarkan surat keterangan lurah, tanpa verifikasi mendalam.
“Ini bukan kelalaian, tapi pola sistematis untuk melindungi pihak kuat. APH seolah takut menyentuh perusahaan tambang, lalu mencari kambing hitam dari isu sepele,” ujar Robby Supit, aktivis yang mendampingi keluarga Loloh. Menurutnya, upaya penyidik memaksa keluarga membuat laporan tambahan—seperti penggelapan dokumen oleh lurah dan camat—adalah taktik untuk mengaburkan kasus ini. Apakah ini bukti bahwa APH lebih berpihak pada korporasi daripada rakyat ?
Tak kalah memalukan, peran Kantor Pertanahan Kota Bitung justru memperkeruh konflik. Lembaga ini mengakui sertifikat diduga palsu, menerbitkan berita acara pengukuran ulang yang cacat prosedur, memindahkan objek tanah secara sepihak, serta mengeluarkan surat-surat yang saling bertentangan. Akibatnya, sengketa lahan semakin ruwet, dan keluarga Loloh kehilangan hak waris yang sah. “Ini bukan kesalahan teknis, tapi indikasi main mata dengan kepentingan tambang,” tegas Robby.
Neltje Loloh, sang ahli waris yang kini berusia lanjut, terpaksa menghadapi realitas pahit, tanah yang semestinya menjadi sumber nafkah justru jadi ajang perebutan. “Seorang oma rakyat kecil hanya bisa pasrah ketika hukum dipermainkan,” keluh Robby.
Gubernur dengan mandat sebagai kepala daerah, Yulius Selvianus memiliki kewenangan untuk memaksa transparansi dalam penanganan kasus ini. Keluarga Loloh dan aktivis mendesak bapak YSK melakukan audit kinerja Polresta Bitung, Polda Sulut, dan BPN setempat. Jika ditemukan indikasi kolusi atau maladministrasi, gubernur wajib mengambil langkah tegas, dengan mencopot oknum bermasalah, merevisi kebijakan yang cacat, atau bahkan mengusulkan penyidikan oleh pihak yang lebih independen.
“Jika gubernur diam, ini sama saja dengan membiarkan rakyatnya ditindas sistem. Sudah waktunya YSK membuktikan komitmennya sebagai pelindung warga, bukan sekadar pencitraan,” tegas Robby.
Menjadi Pertanyaan penting, "Apa alasan Polresta Bitung enggan memproses perusahaan tambang, padahal bukti penyerobotan jelas?
"Mengapa Kantor Pertanahan Bitung tidak dimintai pertanggung jawaban atas penerbitan SHM ilegal?"
"Apa langkah konkret Gubernur YSK untuk memastikan kasus ini tidak mati suri akibat permainan oknum?" Tambah Robby.
Waktu terus berjalan, sementara keadilan bagi Herman Loloh semakin kabur. Jika APH dan pemerintah daerah tetap abai, kasus ini akan menjadi bukti abadi, hukum di Sulut hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Menjadi harapan Gubernur YSK harus memilih, berpihak pada rakyat apalagi permasalahan seperti ini yang menjadi sorotan keluhan rakyat sebagai bagian dari masalah.
(STEFANY T MAWEI)